Revitalisasi Guru: Dari Sekadar Pendidik Menjadi Pembentuk Peradaban
Oleh Alfi Nur Tazkiyah*
Setiap tahun, tanggal 5 Oktober diperingati sebagai Hari Guru Dunia, mengingatkan kita pada peran penting para guru dalam membangun masa depan generasi bangsa.
Dengan tema tahun ini, "Valuing Teacher Voices: Towards a New Social Contract for Education" atau "Menghargai Suara Guru: Menuju Kontrak Sosial Baru untuk Pendidikan," kita diingatkan bahwa guru bukan sekadar pengajar, tetapi penuntun yang seharusnya diberi ruang untuk mengembangkan potensi terbaik dari setiap anak didiknya.
Namun, realitas di Indonesia sungguh ironis. Alih-alih dihargai, para guru justru dihadapkan pada berbagai permasalahan yang menghambat mereka dalam menjalankan tugas mulia tersebut.
Krisis Guru di Indonesia
Krisis guru di Indonesia terletak pada beberapa persoalan utama. Mulai dari rendahnya kesejahteraan hingga kurikulum yang membingungkan. Gaji guru di Indonesia masih sangat rendah, bahkan jauh di bawah standar beberapa negara ASEAN lainnya. Akibatnya, banyak guru terpaksa mencari pekerjaan sampingan untuk mencukupi kebutuhan hidup, yang tentu mengurangi fokus mereka dalam mendidik dengan sepenuh hati. Selain itu, guru kerap diperlakukan sebagai "faktor produksi," hanya dilihat sebatas kemampuan mereka menyampaikan materi pelajaran, tanpa ada upaya serius untuk meningkatkan kualitas hidup dan profesionalisme mereka.
Kurikulum yang cenderung berubah-ubah dan lebih berfokus pada nilai akademis, tanpa memperhatikan pembentukan karakter moral, membuat guru kehilangan jati diri sebagai pendidik sejati. Dalam beberapa kasus, bahkan terdapat oknum guru yang seharusnya menjadi teladan justru terjerat dalam perilaku menyimpang seperti kekerasan fisik dan pelecehan seksual terhadap siswa.
Mengapa ini bisa terjadi? Salah satu faktor penyebabnya adalah hilangnya nilai-nilai spiritual dalam pendidikan yang diadopsi dari paradigma sekulerisme. Ketika pendidikan hanya berfokus pada capaian akademis tanpa memperhatikan pembentukan karakter berdasarkan akidah Islam, guru tak lagi dianggap sebagai pembimbing akhlak, tetapi sekadar penyampai materi.
Solusi Islam: Guru sebagai Pembentuk Peradaban
Islam menawarkan solusi yang komprehensif dalam mengatasi masalah ini. Dalam Islam, guru bukan hanya dihargai sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pembentuk syaksiyah (kepribadian) Islamiyah. Guru bukan hanya dibebani tanggung jawab akademis, tetapi juga memiliki tugas mulia dalam membentuk karakter siswa menjadi hamba yang beriman dan bertakwa. Oleh karena itu, Islam sangat menghormati guru dengan memberikan adab dan penghormatan tinggi baik dari murid maupun negara.
Sistem Islam sangat menghormati profesi guru dengan memberikan gaji yang layak serta menjamin kesejahteraan mereka. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, misalnya, gaji guru mencapai 15 dinar (1 dinar setara 4,25 gram emas). Kesejahteraan guru pun terjamin melalui penerapan ekonomi Islam. Negara memastikan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat termasuk para guru. Hal ini memungkinkan guru untuk fokus sepenuhnya paa tugas mendidik tanpa terganggu oleh tekanan ekonomi.
Islam memandang guru sebagai hamba yang takut pada Allah dan bertanggung jawab dalam membimbing generasi agar memiliki syaksiyah Islam yang kuat. Dengan demikian, guru yang dihasilkan oleh sistem pendidikan Islam adalah guru yang berkualitas, memiliki integritas moral, dan mampu mendidik siswa dengan nilai-nilai Islam.
Sudah saatnya kita merefleksikan kembali peran guru dalam pendidikan kita. Guru bukan hanya pengajar, melainkan pembentuk peradaban. Untuk itu, revitalisasi peran guru harus segera dilakukan dengan kembali pada sistem pendidikan yang memuliakan dan menghormati mereka, sebagaimana yang diajarkan dalam Islam. Hanya dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa masa depan bangsa ada di tangan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia.
*)Penulis adalah Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia