Dibalik Pro-Kontra Nikuba. Islam dan Inovasi Karya Ilmiah yang Tak Tertandingi

(Foto: Istimewa)
Oleh Melinda Harumsah, S.E*
Islam memperhatikan sisi keindahan sebagai nilai yang penting. Fitrah manusia menyukai keindahan, tertarik pada yang indah, tidak suka keburukan, dan menjauhi segala sesuatu yang buruk.
Oleh sebab itulah karya-karya ilmiah yang canggih, namun juga kaya akan seni, kaum muslimin memiliki tangan-tangan yang kreatif dan mampu menghasilkan keindahan.
Inovasi ilmiah dari tangan ilmuwan muslim, tidak hanya sebagai alat yang bisa digunakan sementara, namun para ilmuwan muslim, harus berusaha memperhatikan penampilan alat yang indah, dan menyenangkan hati orang yang melihatnya.
Keindahan yang menyilaukan mata ini, bisa kita lihat pada penemuan teknologi, dengan keindahan yang tak tertandingi.
Mengenai informasi tentang Nikuba, kembali meramaikan media massa dan sosial. Alat yang dirancang oleh Aryanto Misel ini, mendapatkan sorotan, ketika perancangnya diklaim, diundang oleh pabrikan mobil super terkemuka Italia.
Nikuba merupakan, alat yang bisa mengubah air menjadi bahan bakar kendaraan bermotor, melalui proses elektrolisis untuk memisahkan kandungan hidrogen (H2) dan oksigen (O2) dalam air (H2O).
Opininya alat tersebut mampu menyalakan sepeda motor, tetapi saat gasnya ditarik mesinnya langsung mati, karena tidak memberikan formula yang digunakan pada Nikuba.
Pihaknya mengakui, perwakilan sejumlah perusahaan di Italia pun cukup takjub saat melihat alat itu bisa menyalakan mesin kendaraan meski belum dapat menjalankannya.
"Itu belum ada tenaganya, ibaratnya bensin belum ada oktanya, sehingga tidak ada tenaganya, dan mesin kendaraan langsung mati saat digas," kata Aryanto Misel.
Kala itu, menurut dia, hanya memberikan kira-kira 30 - 40 persen "rahasia" Nikuba, sehingga alat dari Rumania tersebut mampu menyalakan mesin kendaraan.
Aryanto mengatakan, kunjungannya ke Italia pun membuahkan perjanjian kerja sama antara dirinya dengan perwakilan perusahaan Italia untuk mengembangkan Nikuba.
"Rencananya, perwakilan perusahaan dari Italia akan datang ke Indonesia pada Agustus 2023 untuk memulai kerja sama tersebut," ujar Aryanto Misel
Finally, terungkap, bahwa adanya mis informasi dalam pemberitaan tersebut, terkait Aryanto bukan diundang oleh pabrikan mobil Italia, melainkan oleh bengkel modifikasi otomotif yang kebetulan bermarkas di Italia. Itu pun rencana aplikasinya tidak jadi karena pemanfaatan penerapan Nikuba tidak berhasil ditunjukkan.
Kenapa hal ini terjadi? Karena, media massa dan sosial telanjur mengumbar berita ini seolah-olah Nikuba adalah “produk karya anak bangsa” yang patut dibanggakan. Kritik dan kurang percaya, dari apa yang disampaikan oleh peneliti dan akademisi malah mengundang cercaan warga net. Aryanto diperlakukan bak “Jenius yang terasingkan”
Akan tetapi, lembaga penelitian dan universitas yang telah meninjau teknologi, terkait selama puluhan tahun dianggap sebagai institusi inkompeten dan hanya buang-buang uang.
Betapa ironisnya, negeri ini terhadap krisis prestasi. Di bidang sains, bahkan belum ada satu pun warga negara Indonesia, yang mendapat Hadiah Nobel. Mayoritas produk sains dan teknologi (saintek) yang digunakan di Indonesia pun diproduksi dari negara asing.
Terbilang beberapa proyek saintek, yang sebenarnya bisa mendorong kemandirian teknologi negara, seperti Pesawat N250 karya BJ Habibie dan tim, Drone Elang Hitam karya (BPPT / Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), serta Reaktor Daya Eksperimental karya (BATAN / Badan Tenaga Nuklir Nasional), pengembangannya dimatikan dengan alasan absurd.
Selain itu, keluaran (karya tulis ilmiah / KTI) yang berlimpah tidak dapat diejawantahkan dalam realitas kehidupan, bahwa penerbitan KTI ini sendiri banyak yang bermasalah akibat tuntutan irasional dari Kementerian akan standar-standar penilaian gimmick.
Sehingga krisis prestasi ini, secara psikologis, membuat sebagian warga merindukan sebuah terobosan yang dapat “mengguncangkan” dunia saintek.
Celakanya, ketika kerinduan prestasi ini dibarengi dengan literasi sains yang minim, menjadikan mereka terlalu mudah percaya, akan klaim-klaim penemuan yang sebenarnya tidak ilmiah dan irasional, seperti Nikuba.
Informasi tentang Nikuba sebenarnya sudah mencuat setidaknya sejak 2022. Nikuba sendiri dinarasikan sebagai alat untuk mengubah air menjadi bahan bakar pengganti bensin.
Berdatangan berbagai klaim yang beredar di media tentang performa Nikuba, tetapi yang paling bombastis adalah klaim bahwa alat ini bisa mengubah satu liter air menjadi bahan bakar untuk menempuh jarak 300 Km ketika digunakan di sepeda motor.
Maka, klaim ini tentu luar biasa karena artinya sistem Nikuba setidaknya enam kali lebih hemat daripada kendaraan internal combustion engine (ICE) konvensional.
Sejatinya sistem Nikuba sebenarnya bukan hal yang baru. Sistem sejenis ini sudah lama dipelajari. Namun, sebelum membahas sistemnya, kita harus memahami fenomena fisis di balik klaim Nikuba itu sendiri.
Dalam ilmu kimia, air bukan substansi yang bisa digunakan sebagai bahan bakar. Secara molekuler, air merupakan senyawa dengan ikatan hidrogen yang notabene bersifat endotermis.
Maksudnya adalah, dibutuhkan energi yang lebih besar, daripada potensi energi unsur penyusunnya untuk memisahkan ikatan ini.
Akan tetapi, jelas berbeda dengan bahan bakar minyak (BBM) seperti bensin yang bersifat eksotermik.
Ada ikatan karbon pada BBM sangat mudah dipecahkan dengan pemicu panas sehingga melepaskan energi yang lebih besar daripada energi yang digunakan sebagai pemicu.
Tersebab mengenai air bersifat endotermis, maka yang menjadi kunci dari klaim Nikuba bukanlah air itu sendiri, melainkan unsur penyusunnya, yaitu hidrogen.
Maka dari itu, sebagai unsur hidrogen sangat reaktif dan bersifat eksotermik. Sifat inilah yang coba dieksploitasi oleh sistem yang sejenis dengan Nikuba.
Dari memisahkan air menjadi unsur penyusunnya, yaitu hidrogen dan oksigen, efisiensi pembakaran di ruang mesin dapat ditingkatkan dengan tambahan suplai hidrogen ini.
Terjadinya masalah, yang timbul dari dua hal, yakni kandungan energi potensial dalam air dan efisiensi sistem. Secara potensial, klaim Nikuba tidak masuk akal.
Dalam satu liter air, terdapat 111 gr hidrogen. Dengan asumsi high heating value (HHV), berarti satu liter air tersebut mengandung potensi energi sebesar 4,378 kWh. Seberapa jauh jarak yang bisa ditempuh?
Contoh ilustrasi perhitungan ketika menggunakan alat inovasi tersebut. Sepeda motor ICE menggunakan bensin yang memiliki densitas energi 9,5 kWh/liter.
Tipikal konsumsi BBM sekitar 50 km/liter. Dari angka ini, didapatkan konsumsi energi spesifik sepeda motor ICE sebesar 0,19 km/kWh.
Seperti misalnya sistem sejenis Nikuba, mampu meningkatkan efisiensi pembakaran mesin dari 25% menjadi 50%, maka total 111 gr hidrogen dalam satu liter air mampu menempuh ± 46,1 km. Sangat jauh dari klaim 300 km.
Andai kata efisiensi sistem mesin bisa naik menjadi 90%, tetap saja jarak yang ditempuh hanya mencapai ±83 km, maksimal.
Ini hanya 27,6% dari jarak yang diklaim oleh Nikuba. Ditinjau dari hukum fisika saja, klaim Nikuba sudah terbukti hoaks.
Ada masalah yang lebih parah, ketika mempertimbangkan efisiensi sistem. Hukum Termodinamika II mengimplikasikan bahwa tidak ada efisiensi sistem 100%, demikian pula pada sistem sejenis Nikuba.
Dari sistem ini mengandalkan proses bernama elektrolisis untuk memecah air menjadi hidrogen dan oksigen.
Kemudian, dari mana listrik untuk elektrolisis didapatkan? Yaitu, dari baterai/accu kendaraan.
Sejatinya, baterai sepeda motor berdaya sangat kecil. Kapasitas penyimpanan daya accu sepeda motor hanya 60 Wh.
Dengan efisiensi elektrolisis 100% saja, hanya bisa dihasilkan 1,5 gr hidrogen. Jika daya accu dinaikkan menjadi 5 kWh, dapat dihasilkan 126 gr hidrogen. Namun, sama sekali tidak mungkin untuk memasang accu 5 kWh di sepeda motor.
Jadi realitasnya, efisiensi electrolyser selalu lebih rendah dari 100% sehingga lebih sedikit lagi hidrogen yang dapat diproduksi oleh sistem sejenis Nikuba.
Oleh sebab itu, ditinjau dari hukum fisika maupun system engineering, jelas bahwa klaim Nikuba adalah klaim abal-abal.
Teknologi Nikuba bukanlah teknologi canggih, melainkan hanya pseudosains. Brown gas yang menjadi basis pengembangan Nikuba pun pada dasarnya hanya meningkatkan efisiensi pembakaran mesin.
Tetapi studi yang telah dilakukan selama ini tidak pernah dilakukan dalam jangka panjang dan mempertimbangkan aspek lain seperti elektrikal untuk menguji kelayakannya.
Walhasil, secara teknis, sistem ala Nikuba tidak lebih daripada fringe science, bahkan pseudosains.
Tidak heran jika peneliti BRIN maupun dosen universitas bersikap skeptis terhadap klaim Nikuba.
Ditambah lagi keengganan Aryanto untuk menguji alatnya di laboratorium untuk mengetes akurasi klaim dan fenomena fisis di baliknya, menjadi indikasi kuat bahwa alat ini memang bermasalah.
Pada hakikatnya, Islam mendorong diciptakannya inovasi-inovasi baru yang bersumber dari penelaahan terhadap alam semesta.
Allah Swt. dalam Al-Qur’an sering mendorong manusia untuk menganalisis dan memikirkan alam semesta, sebagaimana ayat berikut.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS Ali Imran: 190).
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan? Dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”(QS Al-Ghasyiyah: 17—20).
Menganalisis terhadap alam semesta ini, termasuk memahami mekanisme fisis dari terjadinya fenomena-fenomena di alam.
Sehingga dari hasil analisis inilah, yang kemudian dapat diaplikasikan dalam kehidupan, seperti fenomena gravitasi yang membuat air mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah, pasang surut air laut akibat gravitasi bulan, sifat atom yang tidak stabil seiring dengan nomor massa makin tinggi, ikatan kimia dari berbagai jenis senyawa, dan sebagainya.
Maka, dari tafakur alam semesta inilah, para ilmuwan pada era peradaban Islam berhasil memahami proses fisis fenomena yang terjadi di alam dan merekayasanya untuk kemaslahatan umat.
Dari sini, dapat dipahami bahwa penemuan dan inovasi saintek merupakan hal yang amat didorong oleh Islam dan telah sejak lama diterapkan oleh ilmuwan muslim pada era kejayaan Islam.
Terkhusus dari inovasi dan penemuan yang bermanfaat bagi Islam dan kaum muslim secara langsung, baik untuk keperluan dakwah dan jihad maupun untuk peningkatan taraf hidup umat secara umum.
Ketiadaan Khilafah Islamiah menjadikan umat Islam berada dalam titik nadir peradaban. Khilafah Islamiah berdiri kembali atas izin Allah.
Khilafah akan kembali menjadi negara pionir dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk sains dan teknologi. Berbagai macam inovasi dalam bidang sains dan teknologi, tentu saja akan didorong dan didukung oleh negara.
Ramainya isu Nikuba hanyalah salah satu puncak gunung es dari begitu kompleks dan mengakarnya masalah terkait saintek di tengah umat Islam.
Fenomena ini mustahil bisa diurai dan dibereskan dalam paradigma sistemis berbasis, sistem ekonomi di mana perdagangan industri dan alat-alat produksi dikendalikan pemilik swasta, dengan tujuan memperoleh keuntungan dan ekonomi pasar yang sebanyak-banyaknya, serta memisahkan agama dari kehidupan seperti sekarang.
Mustahil umat Islam dapat bangkit dalam sistem yang menanggalkan ajaran agamanya sendiri. Rendahnya literasi umat.
Keterbelakangan umat Islam dalam saintek, serta maraknya berbagai klaim abal-abal berkedok inovasi, merupakan masalah cabang dari tidak diterapkannya syariat Islam di muka bumi ini.
Maka, dengan inovasi teknologi hanya bisa disatukan dengan sangat apik, dalam naungan Khilafah, tidakkah kita ingin kembali merasakan hidup di bawah naungan Khilafah?
Dengan penerapan syariat dalam institusi Khilafah Islamiah adalah satu-satunya jalan, agar umat Islam mampu bangkit dalam aspek saintek, melahirkan berbagai inovasi yang mendukung umat Islam dalam membawa rahmat bagi semesta alam. Wallahu'alam bissawab. ***
*) Penulis adalah pegiat literasi
Seluruh materi dalam naskah ini merupakan tanggung jawab pengirim. Gugatan, somasi, atau keberatan ditujukan kepada pengirim.