Bentuk Kecurangan, Mengundang Kejanggalan dalam Proses PPDB

230724082538-bentu.jpeg

(Foto: istimewa)

Oleh Melinda Harumsah, S.E*

Bukan rahasia umum lagi setiap tahunnya proses PPDB selalu diwarnai dengan kecurangan-kucurangan yang terus terulang.

Istilah jual beli kursi hingga titipan pejabat pun menjadi hal yang biasa di dunia pendidikan saat ini.

Padahal bila kita mau kilas balik ke sistem pendidikan
didalam sistem Islam, telah menggariskan tentang kurikulum pendidikannya.

Pendidikan tersebut wajib berlandaskan pada aqidah Islam. Maka, mulai dari mata pelajaran dan metodologi penyampaiannya, harus seluruhnya disusun, tanpa adanya penyimpangan sedikitpun.

Dari asas tersebut, tujuan politik pendidikan adalah, untuk membentuk pola pikir dan pola jiwa islami, sehingga seluruhnya mata pelajaran, disusun berdasarkan strategi tersebut.

Namun berbagai polemik di tubuh pendidikan saat ini, tidak terlepas dari buah kebijakan dan sistem yang keliru.

Sehingga setiap alternatif yang ditawarkan, sebagian besar berorientasi dan diarahkan untuk memenuhi kepentingan pasar, daripada tujuan pendidikan itu sendiri.

Maka, tidak heran, dari berbagai persoalan baru termasuk memicu, kecurangan, serta dalam mekanismenya datang silih berganti, menuai masalah demi masalah.

Ketua DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) Puan Maharani turut menyoroti proses Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB 2023 yang diwarnai banyak kecurangan. Ia meminta pemerintah melakukan evaluasi sistem PPDB tersebut.

Puan mendorong evaluasi, untuk dilakukan, karena adanya manipulasi data kependudukan, untuk memanfaatkan jalur afirmasi atau sistem zonasi. "Jika dilihat dari satu sisi, kejadian manipulasi data kependudukan ini terjadi akibat jumlah sekolah tidak berbanding lurus dengan jumlah calon peserta didik," kata dia dalam keterangannya, Sabtu, 14 Juli 2023.(tempo.co, Jakarta )

Pada Kota Bogor, di mana Dinas Pendidikan setempat mencoret sedikitnya 209 siswa yang disinyalir berbuat curang dalam proses PPDB zonasi.

Ada yang melakukan manipulasi data hingga titip data anak di KK lain yang dekat dengan sekolah yang dituju.

Puan pun meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud), untuk mengevaluasi sistem zonasi.

Ia menyebut, bahwa sistem zonasi memang bertujuan baik untuk mengatasi ketimpangan, terutama kastanisasi di dunia pendidikan.

Kastanisasi yang dimaksud adalah pengkategorian sekolah unggulan, atau favorit dengan sekolah non-unggulan.

Sekolah unggulan biasanya berisikan siswa-siswa berprestasi. Sementara sekolah non-unggulan lebih banyak diisi siswa yang memiliki kemampuan rata-rata.

Maka dengan begitu, menurut Puan, kendala yang terjadi, mengenai sistem zonasi adalah kurangnya kuota penerimaan siswa. Di karenakan sekolah negeri di setiap kecamatan tidak sebanding dengan jumlah peminat.

Akibatnya, banyak orang tua yang mengakali agar anaknya bisa masuk ke sekolah negeri, baik dengan pungli, mencurangi sistem dan melakukan manipulasi.

Ketika sistem PPDB zonasi juga dimaksudkan untuk mendekatkan jarak antara rumah siswa dan sekolah. Sebelum sistem zonasi diberlakukan, banyak siswa, yang rumahnya hanya berjarak beberapa ratus meter dari sekolah unggulan, tetapi harus bersekolah di lokasi yang lebih jauh karena tidak bisa masuk ke sekolah unggulan itu.

Puan mendukung penghapusan kastanisasi sekolah, namun pemerintah diminta menemukan formulasi yang tepat, agar sistem zonasi yang memiliki tujuan baik tersebut, tidak seharusnya, dijadikan peluang dilakukannya kecurangan.

"Sekolah harus memiliki standar pendidikan yang sama, jadi tidak ada lagi namanya sekolah unggulan atau tidak. Ini merupakan tanggung jawab pemerintah, dalam menjalankan amanat sesuai undang-undang," kata dia.

Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2023/2024 di Indonesia diwarnai dengan praktik kecurangan.

Berdasarkan catatan Tempo, praktik curang ini terjadi di sejumlah daerah mulai dari Bogor, Bekasi, hingga Kepulauan Riau (Kepri).

Berbagai modus dilakukan, agar calon siswa dapat diterima di sekolah favorit melalui jalur zonasi.

Dugaan kecurangan PPDB 2023 di Indonesia, yang pertama adalah adanya praktik jual beli kursi di Karawang.

Seorang warga Kecamatan Karawang Timur, mengungkapkan adanya kegiatan transaksional, saat PPDB SMP jalur zonasi diselanggarakan.

Selain jual beli kursi, PPDB jalur zonasi di Karawang juga diwarnai dengan pungutan liar atau pungli. Salah satu SMP Negeri di Kecamatan Karawang Timur, diduga menarik sejumlah uang kepada seluruh orang tua siswa dengan nominal Rp 1 juta.

Hal ini disampaikan melalui pihak koperasi, dan harus dibayarkan saat daftar ulang, dengan minimal bayar Rp 800 ribu.

Adapun alasan penarikan uang ini adalah untuk pembayaran kelengkapan seragam atau atribut sekolah. Miris sekali negeri ini?!

Kasus kecurangan PPDB di Kota Bogor, menjadi salah satu kasus yang mendapat banyak sorotan masyarakat.

Wali Kota Bogor, Bima Arya mengungkapkan jika terjadi kecurangan dalam proses pendaftaran PPDB, jalur zonasi di wilayah kerjanya. Adapun salah satu kecurangan yang terjadi adalah dengan menuliskan domisili yang tidak sesuai dengan Kartu Keluarga (KK).

Dari pengecekan yang dilakukan Bima, ditemukan beberapa rumah yang dicantumkan sebagai alamat tinggal.

Dugaan kecurangan PPDB 2023 yang selanjutnya, yaitu ada oknum pejabat yang menitipkan calon siswa ke SMA atau SMK tertentu di Kepulauan Riau.

Menurut Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Lagat Parroha Patar Siadari, ditemukan sejumlah oknum pejabat, hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang menitipkan handai taulan sampai anak, dari konstituennya agar bisa masuk ke sekolah tertentu pada seleksi PPDB 2023.

Kalau mau menggunakan sistem zonasi, maka otomatis anak-anak yang tinggal di daerah pinggiran kota tidak bisa mendaftar ke sekolah yang dituju.

Koordinator Nasional P2G, Satriawan Salim, mencontohkan di DKI Jakarta, jumlah calon peserta didik baru tahun 2023 untuk jenjang SMP/MTs adalah 149.530 siswa. Tetapi total daya tampung sekolah hanya 71.489 siswa atau sekitar 47,81%.

Di jenjang SMA/MA/SMK situasinya juga sama. Jumlah calon peserta didik baru tahun 2023 mencapai 139.841 siswa, sedangkan total daya tampung hanya 28.937 siswa atau 20,69%.

Adapun daya tampung jenjang SMK justru lebih sedikit lagi hanya 19.387 siswa atau 13,87%.

Berdasarkan pemantauan P2G, kasus ini terjadi di Magelang, Temanggung, Solo, Sleman, Klaten, Batang, dan Pangkal Pinang.

Di Yogyakarta ada tiga SMA negeri yang masih kekurangan siswa. Di kabupaten Semarang dalam PPDB 2023 ini sebanyak 99 SD negeri tak dapat siswa baru sehingga guru harus mencari murid dari rumah ke rumah," ungkap Feriyansyah, Kepala Bidang Litbang Pendidikan P2G.

Kemendikbud (kementerian pendidikan dan kebudayaan) harus evaluasi PPDB
Kepala bidang litbang pendidikan di Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Feriyansyah, mendesak Kemendikbud agar mengevaluasi kebijakan PPDB yang telah diberlakukan sejak 2017 tersebut.

Meski telah enam tahun berlangsung, tapi setiap tahun persoalan yang sama terus berulang dan semakin kacau.

Apa tanggapan Kemendikbud?
Merespons masalah yang timbul dari kebijakan PPDB, Kemendikbud menilai hal tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (pemda).

Direktur Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah, Iwan Syahril, mengatakan pemda memiliki keleluasaan menentukan susunan calon peserta didik yang bisa mendaftar ke PPDB di daerah masing-masing.

Ini karena pemda dinilai yang paling mengetahui bagaimana kondisi serta apa yang menjadi kebutuhan terkait penyelenggaraan pendidikan di daerahnya.

Kata dia, setiap daerah memiliki empat jalur pendaftaran PPDB tahun ajaran 2023/2024, di antaranya:
Zonasi, SD paling sedikit 70%, SMP paling sedikit 50%, SMA paling sedikit 50%.
Afirmasi, paling sedikit 15%.
Perpindahan orang tua/wali, paling banyak 5%.
Prestasi nilai rapor, jika persentase kuota masih tersisa.

Menurut Iwan, empat jalur ini seharusnya memberikan kesempatan adil bagi setiap peserta didik. Jalur zonasi juga bukan satu-satunya seleksi yang ada di PPDB.

"Prinsip pelaksanaan PPDB dilakukan tanpa diskriminasi, kecuali bagi sekolah yang secara khusus dirancang untuk melayani peserta didik dari kelompok gender atau agama tertentu," (kompas.com)

Pada dasarnya kebijakan sistem zonasi pada mulanya bertujuan baik, yakni menghilangkan tensi favoritisme sekolah dan mengurangi kasta dalam dunia pendidikan.

Ini karena tidak dimungkiri, adanya sekolah favorit dan sekolah “pinggiran” memang menjadi jurang, seakan ada polarisasi tersendiri antara sekolah anak pintar dan tidak pintar. Dengan kebijakan zonasi, polarisasi ini diharapkan dapat terminimalkan.

Jika kita berkaca pada kejanggalan PPDB 2023, ada dua masalah pokok yang luput dari perhatian pemerintah.

Pertama, paradigma tentang sekolah. Cara pandang masyarakat, mengenai sekolah favorit dan tidak favorit ini sendiri, tidak terlepas dari paradigma pendidikan sekuler kapitalistik, yang mengukur segalanya dari materi.

Contohnya, sekolah favorit hanya untuk orang-orang pintar dan kaya, sedangkan siswa yang “tidak pintar” hanya bisa bernaung di sekolah ala kadarnya, yang minim fasilitas dan sarana prasarana.

Pada akhirnya, kesuksesan seorang anak diukur dari nilai materi saja. Sekolah bagus dilihat dari fasilitas, tunjangan, dan sarana prasarananya.

Budaya kasta dan pandangan materi inilah yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat kapitalistik.

Kedua, pemerataan pendidikan tidak akan terwujud, jika infrastruktur pendidikan belum terpenuhi di seluruh wilayah.

Adanya kasta, gengsi sekolah, hingga perbedaan infrastruktur, menjadi titik balik adanya favoritisme dalam dunia pendidikan.

Buktinya, ada orang tua yang rela menghalalkan segala cara, agar anaknya dapat masuk ke sekolah yang fasilitasnya sudah bagus dan dikenal sebagai sekolah unggulan atau berprestasi.

Ada pula, yang tidak berkenan di sekolah dekat dengan rumah, lantaran fasilitas penunjang belajar dinilai minim dan kurang berkembang.

Alhasil, banyak orang tua lebih memilih menyekolahkan anak-anak mereka di swasta meski berbiaya mahal ketimbang sekolah negeri, tetapi minim sarana dan prasarana.

Imbasnya, beberapa sekolah negeri kekurangan siswa. Bahkan, ada yang menerima satu siswa saja, padahal lokasi sekolah dekat dengan pemukiman warga.

Artinya, dari aspek penyediaan fasilitas sekolah, pemerintah lalai memberikan pelayanan pendidikan secara merata.

Jangan heran jika sistem zonasi akan menghadapi polemik tahunan.

Perihal dari kebijakan zonasi, sejatinya belumlah menyentuh akar persoalan pendidikan. Yang harusnya diperhatikan adalah mengurai pokok persoalan, yakni mengubah paradigma masyarakat tentang sekolah dan sistem yang menaunginya.

Negara berperan penting dalam menyelenggarakan sistem pendidikan yang berkualitas dan unggul. Apa saja peran tersebut?

Pertama, menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam.

Pandangan masyarakat perihal sekolah favorit dan tidak favorit akan berubah seiring diterapkannya pendidikan Islam.

Dalam pandangan Islam, visi misi sekolah ialah membentuk generasi berkepribadian Islam, menguasai tsaqofah Islam, dan ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keterampilan).

Bukan sekadar berburu nilai kognitif, mengejar gengsi dan prestise, atau membuat anak cerdas secara akademis, tetapi minus kepribadian mulia.

Kedua, menyediakan infrastruktur dan fasilitas yang menunjang kegiatan belajar dan mengajar di sekolah.

Ini adalah kewajiban negara sebagai penanggung jawab membangun SDM berkualitas.

Oleh sebab itu, negara wajib menyediakan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai, seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, teknologi yang mendukung KBM, dan sebagainya.

Dengan demikian, tidak perlu ada sistem zonasi. Semua sekolah diunggulkan dan para siswa mau sekolah di mana saja karena fasilitasnya yang merata.

Ketiga, SDM yang bermutu dan profesional. Kehadiran guru yang profesional cukup berpengaruh pada kualitas sekolah di masyarakat.

Alhasil, negara wajib menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor dan lembaga pendidikan.

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Ma'idah Ayat 8 :
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah”. (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah.

Ada beberapa tujuan, pendidikan di dalam islam adalah membentuk manusia yang :

1. Memiliki kepribadian Islam
2. Handal menguasai pemikiran Islam.
3. Menguasai ilmu-ilmu terapan IPTEK (pengetahuan dan teknologi)
4. Memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdaya guna.

Memiliki kepribadian Islam, dilakukan pada semua jenjang pendidikan, yang sesuai dengan proporsinya, melalui berbagai pendekatan.

Barulah setelah mencapai usia balig, yaitu (SMP, SMA dan PT/ perguruan tinggi). Materi yang diberikan bersifat lanjutan, yakni (pembentukan, peningkatan dan pematangan).

Hal ini dimaksudkan, untuk memelihara sekaligus meningkatkan keimanan, serta keterikatannya dengan syariat islam.

Indikatornya adalah bahwa anak dididik, dengan kesadaran yang dimilikinya, telah berhasil, melaksanakan seluruh kewajiban dan mampu menghindari segala tindak kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta'ala.

Dari sinilah, akan dihasilkan individu, generasi yang memiliki kepribadian yang mulia, dan paham akan makna kehidupan.

Sehingga, kelak akan dirasakan penerapannya di masyarakat, bukan anak didik yang bisa menyelesaikan soal-soal HOTS.

Dengan kesulitan tingkat tinggi, namun minim sisi kepribadian. Melalui sistem pendidikannya, Islam akan melahirkan output generasi berkualitas.

Baik dari sisi kepribadian, maupun dari sisi penguasaan ilmu pengetahuan, peranannya di tengah-tengah masyarakat akan dirasakan.

Sehingga dalam menegakkan kebenaran, maupun dalam menerapkan ilmunya. Dari paparan tersebut, jelas, dengan sistem pendidikan Islam akan menghasilkan generasi mulia, sekaligus akan mendorong ilmu pengetahuan, dengan sangat pesat.

Maka, wajar, pada abad pertengahan, Islam menjadi pusat peradaban dan rujukan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu Islam mampu menjawab persoalan kualitas generasi, bahkan mendorong terwujudnya peradaban yang mulia dan agung.

Harus diingat bahwa puncak pencapaian penguasaan sains dan teknologi, ketika jaman kejayaan umat Islam dimasa lalu, memang tidak bisa dilepaskan dari tegaknya ke-Khilafah-an.

Dalam adanya sistem komando, yang terintegrasi secara global, yang peranannya secara politik, sejalan dengan peranan agama.

Dengan demikian, kita bisa melihat integrasi dalam tiga pilar utama pendidikan, dalam pembentukan peradaban islam yaitu (ilmu pengetahuan, agama dan politik) yang terpadu kendali dalam sistem ke-Khilafah-an di bawah pimpinan seorang Khalifah sistem pendidikan yang kita dambakan.
Wallahu'alam.***

Seluruh materi dalam naskah ini merupakan tanggung jawab pengirim. Gugatan, somasi, atau keberatan ditujukan kepada pengirim.

Komentar